Wabi-sabi, Seni dari Ketidaksempurnaan

Sudut pandang terhadap persepsi kita tentang kata kesempurnaan

Brilliant Baihaqqi

Apa itu kesempurnaan?

Mencari kesempurnaan merupakan sebuah tujuan yang diincar oleh banyak manusia untuk dijadikan sebuah “state” atau bentuk paling ideal dari suatu objek. Namun, apa yang bisa disebut sebagai sesuatu yang sempurna? Dalam pekerjaan kita dituntut untuk tidak membuat kesalahan agar hasilnya bisa sempurna. Ketika ada seseorang yang memiliki wajah nan cantik dan badan yang ideal maka ia bisa disebut sempurna fisiknya. Jika kita memiliki pasangan yang memiliki banyak kesamaan, bagus secara fisik dan rohani, serta karirnya berjalan baik, maka pasangan tersebut disebut sebagai pasangan yang sempurna. Dari contoh-contoh yang telah disebutkan, sesuatu yang sempurna adalah suatu objek ataupun hal yang tidak memiliki kesalahan, terjauhi dari yang tercela dan memiliki kualitas yang sangat baik.     

Wabi-sabi

Sebuah filosofi dari zaman Jepang Kuno berjudul wabi-sabi memiliki pemikiran yang lumayan berbeda dari pendefinisian kesempurnaan pada umumnya. “The art of finding perfection in imperfections”, kata mereka. Filosofi ini dapat merubah cara berpikir manusia dalam berpersepsi melihat sesuatu yang “tidak sempurna” ataupun rusak. Dalam wabi-sabi, objek tidak hanya dilihat dari kesempurnaan hasil akhirnya, namun esensi estetika yang berada dalam sejarah pembentukan hasil akhir objek tersebut. Secara langsung, wabi (侘び) memiliki makna kesunyian bersama alam, terisolasi dari keramaian. Lalu sabi (寂び) memiliki arti pengaratan sesuatu dengan cara yang elegan. Jika digabung, wabi-sabi berarti pengapresiasian sesuatu yang telah berkarat (menua).  

Raw denim adalah tren fashion dimana denim akan lebih bagus ketika sudah digunakan berulang-ulang dan tidak dicuci untuk mengeluarkan cetakan warna unik sesuai kegunaan denim tersebut.

Lumut pada batu, pengaratan pada pedang, pot yang pecah, dan benda-benda lain yang produk akhirnya memperlihatkan sebuah cerita proses dalam pembentukannya. Wabi-sabi mengajarkan bahwa “authenticity” merupakan sesuatu yang mahal. Pengalaman yang dilalui oleh suatu benda bukanlah sesuatu yang murah melainkan tidak bisa tergantikan, latar belakang objek itu lah yang membuat tampak ketidaksempurnaan menjadi sempurna, menambahkan nilai dari objek tersebut. Layaknya batu yang berlumut, sepatu favorit atau celana jeans yang sering kita gunakan hingga kotor, bernoda, robek, atau ciri khas lain, akan bernilai lebih. Mungkin bukan nilai harga jual, akan tetapi nilai apresiasi kita terhadap barang tersebut karena memiliki cerita unik tersendiri.

Seniman-seniman Jepang sejak abad ke-15 menumpahkan filosofi ini ke dalam karya-karya mereka. Karya seni visual yang berasal dari Jepang memiliki ciri khas yang bersih, tidak terlihat tajam namun pesan yang bisa tersampaikan. Sama halnya ketika seniman menggunakan prinsip wabi-sabi dalam karya mereka, walau terlihat cacat, pengamat dapat mengabaikan “kerusakan” tersebut dan merubahnya menjadi karakteristik spesial dalam produknya.

Lalu, dalam seni wabi-sabi, ada sebuah teknik yang dilakukan oleh seniman Jepang untuk menutupi ketidaksempurnaan suatu objek, misal dalam contoh ini adalah sebuah cangkir yang telah retak, ditambal dengan emas. Mengapa perlu ditambal? Bukankah wabi-sabi mementingkan esensinya dan bukan hasil akhir? Metode ini disebut kintsugi, yang menambal sebuah pecahan kesenian pecah belah menggunakan bubuk atau cairan emas. Apa yang berusaha dilakukan oleh seniman bukanlah untuk menutupi kesalahan, melainkan sebuah metafora untuk membuktikan bahwa segala sesuatu yang rusak bisa diperbaiki dan berubah menjadi pribadinya yang lebih baik dari sebelumnya.

Tidak hanya itu, kintsugi juga memiliki tujuan untuk memberikan kesempatan kedua bagi objek yang telah rusak. To reuse (menggunakannya kembali) dan to repair (memperbaikinya) untuk menghindarkan waste (limbah). Filosofi ini disebut dengan mottainai yang sangat berguna dalam zaman ini untuk pengelolaan bumi yang perlu menghindar dari tindakan mubazir.

Pengaplikasian wabi-sabi dalam berpikir

Konsep dari wabi-sabi bisa ditemukan dimana saja. Interpretasinya ke dalam kehidupan manusia secara sederhana adalah untuk mengapresiasi segala sesuatu, dengan bentuk dan keadaan apa pun. Ketika kita menghargai dapat menghargai lingkungan kita, maka akan timbul perasaan senang, walaupun hanya sedikit. Namun perasaan senang ini akan bersifat konsisten karena kita menyadarkan kesenangan kemanapun kita pergi.

Merubah pikiran dari melakukan (doing) menjadi penerimaan dan menjalankan (being). Merubah pikiran dari menyempurnakan (perfecting) menjadi (appreciating). Memahami konsep ini mudah namun pengaplikasiannya membutuhkan pikiran yang tenang dan tidak berkabut akan pemikiran negatif. Oleh karena itu wabi-sabi membutuhkan kesunyian dalam pengeksekusiannya, secara internal dan eksternal.

Orang-orang Jepang memegang prinsip wabi-sabi hingga sekarang. Dalam transportasi publik yang mendesak ataupun zebra cross Shibuya yang begitu ramai, mereka berfokus pada mereka sendiri, fokus dan menghargai waktunya untuk menikmati lingkungan yang mungkin ramai namun sunyi sekaligus. Individualisme antarmanusia yang tinggi membuat wabi-sabi lebih mudah dilakukan.

Pesan akhir

Makna wabi-sabi tersendiri pun bisa berbeda-beda dalam penerimaannya oleh setiap individu sebab memaknai sesuatu juga merupakan bagian dari wabi-sabi.  Apa yang diajarkan wabi-sabi membawa kita untuk sadar akan keindahan dunia. Orang-orang yang menganut wabi-sabi membawa aura positif kemanapun mereka pergi karena mereka memiliki mekanisme peregulasiaan diri yang berkelanjutan. Sebuah pemikiran yang membuat manusia rendah hati karena bisa menerima kekurangan sebagai suatu kelebihan.